Jakarta, Sultratimes.com, – PLH-SULTRA mendorong penegakan hukum terhadap PT. MANUNGGAL SARANA SURYA PRATAMA melalui pengaduan resmi ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta APH dan Dirtjen Minerba RI atas dugaan pelanggaran dan ketidakpatuhan perizinan di Kabupaten Konawe Utara.
Pengaduan ini bertujuan agar pemerintah segera melakukan penegakan hukum terhadap perusahaan yang mendapatkan peringkat merah dalam Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (PROPER). Melalui platform resmi pemerintah, yaitu “lapor.go.id“ dan “pengaduan.menlhk.go.id”.
PLH-SULTRA mengadukan PT. MSSP guna mendesak dilakukannya penegakan hukum, dimana perusahaan tersebut diduga kuat melakukan pelanggaran hukum sesuai dengan yang tertuang dalam Pasal 50 ayat (2) huruf a junto Pasal 78 ayat (2) UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana diubah dengan paragraf 4 Pasal 26 angka 17 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Berdasarkan analisis dan hasil pemantauan lapangan yang dilakukan oleh PLH-SULTRA perusahaan pertambangan yang telah mendapatkan PROPER merah ini, tetap menunjukan ketidakpatuhannya dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Perusahaan Tambang Nikel PT Manunggal Sarana Surya Pratama (MSSP) diduga Melakukan Perambahan kawasan Hutan tanpa memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) hingga menuai polemik di Blok Boenaga, Kecamatan Lasolo Kepulauan (Laskep), Kabupaten Konawe Utara (Konut) Sulawesi Tenggara (Sultra).
Berdasarkan Data dan hasil kajian yang dihimpun Pemerhati Lingkungan Hidup Sulawesi tenggara (PLH-SULTRA) Mengutarakan bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayah lingkar tambang sudah tidak terkendali lagi yang diduga akibat ulah PT.MSSP yang melakukan perambahan kawasan hutan Tanpa IPPKH
Ketua Umum PLH-SULTRA, Robby Anggara Membeberkan bahwa PT.MSSP sudah berapa kali Melakukan kelalaian,yang mengakibatkan pencemaran lingkungan yang luar biasa,yakni banjir lumpur dan rusaknya sumber mata air milik warga saat ini.
Lanjut Robby sapaan akrabnya mengatakan bahwa Proses penambangan tanpa IPPKH bisa mengakibatkan beralih fungsinya Kawasan hutan tanpa terkontrol dan berpotensi mengakibatkan dampak lingkungan yang sangat Fatal, dikarenakan tidak ada pemantauan dari Pihak yang berwajib yaitu Kementerian Lingkungan hidup dan kehutanan Republik Indonesia sebelum proses penambangan berlangsung.
“hal itu sengaja dilakukan karna tidak memperhatikan kaidah-kaidah pertambangan yang baik,dan benar sehingga mengakibatkan kerugian materi dan kerusakaan lingkungan yang luar biasa bagi rakyat dan negara. Kegiatan perusahaan juga membahayakan keselamatan karena tidak mengikuti kaidah-kaidah penambangan yang semestinya, sehingga bukan hanya banjir lumpur, keberadaan perusahaan berpotensi mengakibatkan kerusakan lainnya. antara lain banjir, longsor, serta mengurangi kesuburan tanah.Terkhusus dampak masyarakat lingkar tambang di kecamatan lasoso kepulauan,” Jelas Robby.
Hal ini menunjukan bahwa program PROPER belum dijadikan acuan untuk mendorong perusahaan untuk tidak melakukan pengerusakan lingkungan ataupun mendorong perusahaan untuk taat terhadap peraturan lingkungan hidup.
Padahal, PROPER dilakukan secara langsung oleh pemerintah dengan data yang valid dan dapat menunjukkan bentuk pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh perusahaan.
Selain itu PLH-SULTRA juga menilai pemerintah telah melakukan pembiaran terhadap perusahaan-perusahaan yang diduga telah melakukan pelanggaran lingkungan.
Padahal jika mengacu pada Pasal 90 ayat (1) UU Nomor 32/2009, Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.
Selanjutnya ketidaktaatan perusahaan ini kemudian dapat dilanjutkan dengan penegakan hukum sesuai bunyi Pasal 48 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor 1 Tahun 2021 maupun aturan perundangan – undangan lainnya.
Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 89 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagaimana diubah dengan paragraf 4 Pasal 27 angka 5 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 1,5 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar,”Ucap Robby
kemudian dikuti dengan terbitnya Permen LHK Nomor 1 Tahun 2021 Tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana tujuan diterbitkannya Permen LHK ini guna untuk menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem.
“Menyusul laporan yang baru kami serahkan, KLHK-RI dalam waktu dekat akan melakukan verifikasi langsung ke Kab. Konawe Utara tepatnya di Desa Boenaga Kec. Lasolo Kepulauan untuk membuktikan materi laporan. Kami mendukung langkah tegas KLHK bersama APH terhadap kegiatan perusahaan yang melanggar hukum, termasuk kewajiban menjatuhkan sanksi tegas berupa pencabut izin usaha perusahaan tambang pelanggar hukum,” Tutupnya
Laporan : Tim