Uncategorized

Opini : Rencana Utang Pemda Mubar ke Bank Sultra di Tengah Efisiensi Anggaran Nasional – Strategi Bijak atau Beban Fiskal??

443
×

Opini : Rencana Utang Pemda Mubar ke Bank Sultra di Tengah Efisiensi Anggaran Nasional – Strategi Bijak atau Beban Fiskal??

Sebarkan artikel ini

Muna Barat, Sultratimes.com, – Pemerintah Daerah (Pemda) Muna Barat (Mubar) berencana mengajukan kredit dengan skema Stand By Loan ke Bank Sultra guna membiayai pembangunan perkantoran dan infrastruktur jalan. Namun, keputusan ini muncul di tengah tantangan fiskal yang semakin ketat, terutama setelah pemerintah pusat menerapkan kebijakan efisiensi anggaran nasional.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 29 Tahun 2025 Tentang Penyesuaian Rincian Alokasi Transfer Ke Daerah dalam rangka efisiensi, Dana Alokasi Umum (DAU) untuk Muna Barat hanya sebesar Rp274,92 miliar, dengan Rp26,76 miliar sudah ditentukan penggunaannya dan Rp1 miliar dialokasikan untuk pemberdayaan masyarakat di kelurahan​. Sementara itu, Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik untuk Muna Barat tidak tercantum dalam dokumen keputusan menteri, menandakan bahwa tidak ada tambahan anggaran signifikan dari pusat untuk proyek infrastruktur daerah ini.

Dengan kondisi keuangan yang demikian, muncul pertanyaan mendasar, Apakah Pemda Mubar memiliki kapasitas fiskal yang cukup untuk menanggung utang baru? Atau justru utang ini akan memperburuk kondisi anggaran daerah?

Konteks Nasional : Efisiensi Anggaran dan Konsekuensi terhadap Transfer ke Daerah
Pemerintahan Presiden Prabowo saat ini tengah melakukan penghematan anggaran besar-besaran, yang melibatkan penyisiran belanja negara dan optimalisasi transfer ke daerah. Skema efisiensi ini berdampak langsung pada besaran Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang diterima Pemda, termasuk Muna Barat.

1. DAU Berpotensi Berkurang

Efisiensi fiskal pusat dapat menyebabkan penyesuaian nilai DAU, karena pemerintah lebih selektif dalam distribusi anggaran ke daerah. Pemda yang tidak memiliki kinerja keuangan yang baik bisa mendapatkan alokasi DAU yang lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

2. DAK Akan Lebih Tertarget

Efisiensi Prabowo juga menekankan bahwa DAK hanya diberikan untuk proyek-proyek prioritas nasional. Jika Pemda Mubar tidak mampu menyelaraskan proyek infrastruktur yang dibiayai dengan pinjaman ke dalam prioritas nasional, maka kemungkinan besar tidak akan mendapatkan tambahan DAK sebagai dukungan.

3. Skema Bagi Hasil dan Transfer Lainnya Bisa Ditekan

Dengan pengurangan anggaran pusat, ada kemungkinan Dana Bagi Hasil (DBH) dari pajak dan sumber daya alam juga mengalami penyesuaian.

Konsekuensi logisnya? Pemda Mubar akan semakin bergantung pada PAD dan utang untuk membiayai belanja daerah, sementara potensi peningkatan DAU dan DAK menjadi lebih sulit. Jika tidak dikelola dengan baik, pinjaman ke Bank Sultra justru bisa menambah beban fiskal dan mempersempit ruang fiskal di masa depan.

Kapasitas Fiskal Pemda Mubar : Apakah Mampu Mengelola Utang?
Berdasarkan dokumen fiskal yang dianalisis, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemda Mubar masih sangat kecil dibandingkan total pendapatan daerah. Ketergantungan terhadap DAU dan DAK masih tinggi, yang artinya ketahanan keuangan daerah sangat rentan terhadap perubahan kebijakan fiskal pusat.

Selain itu, terdapat beberapa catatan penting terkait keuangan Pemda Mubar:

1. Belanja Operasional Terlalu Besar

Data menunjukkan bahwa porsi belanja pegawai dan operasional masih mendominasi dibandingkan belanja modal untuk pembangunan. Jika Pemda Mubar menambah beban utang tanpa menekan belanja operasional, maka beban pembayaran bunga dan cicilan utang akan semakin mempersempit ruang fiskal daerah.

2. Rendahnya Realisasi Anggaran

Hingga pertengahan tahun 2024, realisasi belanja APBD baru mencapai 54%, dengan belanja modal yang masih tertinggal jauh. Artinya, meskipun ada anggaran, pelaksanaan proyek daerah sering mengalami keterlambatan. Jika utang ini tetap diambil, ada kemungkinan proyek yang dibiayai juga tidak berjalan tepat waktu, yang akhirnya malah memperburuk kondisi keuangan daerah.

3. Silpa yang Tidak Transparan

Laporan keuangan menunjukkan bahwa Rp82 miliar Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (Silpa) tidak jelas penggunaannya. Ini menandakan adanya masalah dalam perencanaan anggaran daerah, yang bisa berujung pada inefisiensi penggunaan utang jika tetap dilanjutkan.

Jika Pemda Mubar mengambil utang sementara kapasitas fiskalnya masih lemah, risiko gagal bayar atau keterlambatan pembayaran cicilan utang menjadi sangat tinggi.

Risiko Pembengkakan Utang dan Beban Fiskal Jangka Panjang
Ketika sebuah daerah mengambil utang, ada beberapa risiko utama yang harus diperhitungkan :

1. Beban Anggaran yang Meningkat

Jika Pemda Mubar meminjam dana tanpa strategi fiskal yang jelas, maka alokasi anggaran tahunan untuk membayar utang akan semakin besar. Hal ini bisa mengorbankan sektor lain seperti kesehatan, pendidikan, dan bantuan sosial yang lebih dibutuhkan masyarakat.

2. Keterlambatan Proyek Berujung pada Pembengkakan Biaya

Dengan track record realisasi belanja modal yang rendah, ada risiko proyek yang dibiayai dari utang ini justru tidak berjalan sesuai rencana. Jika proyek molor, sementara cicilan tetap berjalan, maka hasil akhirnya bisa lebih buruk dari yang direncanakan.

3. Peningkatan Risiko Kredit Macet di Daerah

Kabupaten Muna, termasuk Mubar, memiliki tingkat Non-Performing Loan (NPL) yang tinggi, mencapai 2,03%. Jika Pemda Mubar gagal mengelola utang ini dengan baik, maka akan menambah beban kredit macet di sektor perbankan daerah, yang berimbas pada iklim investasi secara keseluruhan.

Struktur APBD Mubar 2025 : Apakah Masih Ada Ruang untuk Utang?
Analisis terhadap APBD Mubar menunjukkan bahwa struktur anggaran daerah masih sangat terbatas :

1. Belanja Pegawai yang Mendominasi

Berdasarkan tren belanja sebelumnya, lebih dari 50% DAU kemungkinan besar akan terserap untuk belanja pegawai.

Dengan DAU Rp274,92 miliar, jika belanja pegawai mencapai 55% dari total DAU, maka sekitar Rp151 miliar sudah habis hanya untuk gaji dan tunjangan pegawai.

2. Belanja Operasional yang Tinggi

Selain belanja pegawai, Pemda juga harus menutupi belanja operasional rutin lainnya, seperti pemeliharaan fasilitas umum, layanan pemerintahan, serta subsidi dan bantuan sosial.

Jika belanja operasional diestimasi mencapai 30% dari DAU, maka sekitar Rp82 miliar akan terserap untuk kebutuhan ini.

3. Ruang Fiskal untuk Pembangunan Semakin Sempit

Setelah belanja pegawai dan operasional dipenuhi, tersisa hanya sekitar Rp41,92 miliar dari DAU yang bisa dialokasikan untuk belanja modal dan pembangunan infrastruktur.

Jumlah ini sangat terbatas jika dibandingkan dengan kebutuhan proyek-proyek besar seperti pembangunan kantor dan jalan.

Dari struktur ini, jelas bahwa Pemda Mubar memiliki ruang fiskal yang sangat terbatas untuk mengambil utang baru. Jika utang tetap dilakukan, konsekuensinya adalah anggaran belanja lainnya harus dipangkas, atau Pemda terpaksa mencari sumber pendapatan baru yang belum tentu stabil.

Konsekuensi Utang terhadap Stabilitas Keuangan Daerah
Jika Pemda tetap mengambil pinjaman dari Bank Sultra, ada beberapa konsekuensi serius yang harus dipertimbangkan :

1. Peningkatan Beban Pembayaran Bunga dan Cicilan

Utang dengan skema Stand By Loan tetap harus dibayar dengan bunga yang berjalan meskipun pencairan tidak dilakukan penuh sejak awal.

Jika pinjaman mencapai Rp50 miliar dengan bunga 8% per tahun, maka beban bunga saja bisa mencapai Rp4 miliar per tahun, belum termasuk cicilan pokok.

Jika Pemda harus mencicil pokok utang selama 5 tahun, maka setiap tahunnya perlu mengalokasikan sekitar Rp10 miliar hanya untuk membayar utang.

2. Pemotongan Anggaran Sektor Lain

Jika pembayaran utang mencapai Rp10 miliar per tahun, maka alokasi belanja untuk pendidikan, kesehatan, dan layanan publik lainnya bisa terpangkas.

Ini berisiko menghambat program-program prioritas daerah yang lebih berdampak langsung bagi masyarakat.

3. Risiko Keterlambatan dan Ketidakefisienan Proyek

Berdasarkan data realisasi anggaran sebelumnya, belanja modal di Mubar sering mengalami keterlambatan, dengan realisasi yang masih di bawah 60% pada pertengahan tahun.

Jika proyek yang dibiayai utang ini tidak berjalan tepat waktu, sementara bunga utang tetap berjalan, maka beban fiskal justru semakin meningkat tanpa hasil yang jelas.

Apakah Ada Alternatif Selain Berutang?
Sebelum mengambil keputusan untuk berutang, Pemda Mubar seharusnya mempertimbangkan opsi alternatif yang lebih berkelanjutan, seperti :

1. Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Meningkatkan pendapatan dari sektor unggulan seperti perikanan, perkebunan, dan pariwisata.

Memperketat pemungutan pajak dan retribusi daerah untuk mengurangi kebocoran PAD.

2. Mengajukan Dana Hibah atau CSR dari Swasta

Pemda bisa bekerja sama dengan perusahaan lokal atau BUMN untuk mendapatkan dana hibah atau bantuan pembangunan melalui skema Corporate Social Responsibility (CSR).

3. Memanfaatkan Dana Desa dan Bantuan Non-DAU

Jika proyek yang direncanakan dapat dikategorikan sebagai proyek pemberdayaan masyarakat, Pemda bisa mengoptimalkan alokasi Dana Desa atau bantuan sosial dari kementerian terkait.

4. Melakukan Skema Public-Private Partnership (PPP)

Jika proyek pembangunan bersifat strategis dan menguntungkan secara ekonomi, Pemda bisa menawarkan kerja sama dengan investor swasta untuk membangun infrastruktur dengan model bagi hasil.

Kesimpulan : Rencana Utang Perlu Dikaji Ulang
Dengan kondisi keuangan daerah yang terbatas dan besarnya beban belanja pegawai serta operasional, pengambilan utang oleh Pemda Mubar berisiko menambah tekanan pada APBD tanpa jaminan hasil yang optimal.

Tanpa strategi yang matang, utang ini justru bisa menjadi beban fiskal yang mengorbankan sektor lain seperti pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial. Dengan realisasi anggaran yang sering tertunda, risiko keterlambatan proyek juga harus diperhitungkan.

Sebelum berutang, Pemda Mubar seharusnya mengeksplorasi opsi lain seperti optimalisasi PAD, kerja sama dengan swasta, atau pemanfaatan dana hibah, yang lebih aman dan tidak membebani anggaran daerah.

Jika Pemda tidak berhati-hati, utang ini bisa menjadi awal dari krisis fiskal daerah yang memperburuk kesejahteraan masyarakat.

 

Penulis : Abdul Rachman R, SE., M.Si (Akademisi Akuntansi)
Editor : Ardan