BeritaKolaka

Opini : Marah Boleh, Tapi Jangan Biarkan Indonesia Terbakar

313
×

Opini : Marah Boleh, Tapi Jangan Biarkan Indonesia Terbakar

Sebarkan artikel ini

Kolaka, Sultratimes.com, – Beberapa pekan terakhir, ruang publik Indonesia kembali dipenuhi asap. Bukan asap dapur rakyat kecil yang berusaha bertahan hidup, melainkan asap ban terbakar di jalanan. Demonstrasi besar meletus di berbagai kota, dari Jakarta hingga Manokwari. Teriakan massa menggema, menuntut keadilan yang dianggap semakin jauh dari jangkauan.

Namun di balik amarah itu, ada tragedi. Seorang anak muda, Affan Kurniawan (21), driver ojek online, meregang nyawa setelah tertabrak kendaraan taktis saat unjuk rasa di Jakarta. Affan bukan tokoh politik, bukan aktivis senior, hanya rakyat biasa yang hidup dari roda dua. Ia merepresentasikan wajah mayoritas Indonesia : bekerja keras dengan penghasilan pas-pasan, namun ikut terseret dalam gelombang keresahan nasional.

Penulis melihat peristiwa ini bukan hanya sebagai insiden, melainkan cermin dari krisis sosial yang lebih dalam.

Krisis Kepercayaan : Ketika Wakil Rakyat Kehilangan Empati

Akar dari keresahan publik begitu jelas : rakyat semakin kehilangan kepercayaan pada wakilnya. Salah satu pemicu terbesarnya adalah keputusan DPR terkait tunjangan rumah Rp 50 juta per bulan bagi setiap anggota, menyusul penghapusan rumah dinas.

Dengan tambahan fasilitas lain, tunjangan beras, transportasi, komunikasi, hingga perjalanan dinas—pendapatan anggota DPR kini diperkirakan mencapai Rp100–120 juta per bulan. Data – data menunjukkan, dalam lima tahun terakhir, pos tunjangan DPR meningkat hampir 30%.

Bandingkan dengan data BPS yang mencatat rata-rata upah buruh hanya sekitar Rp3,1 juta per bulan pada 2024, dengan kenaikan stagnan. Jurang ketidakadilan inilah yang menyulut bara.

Sosiolog Ted Robert Gurr menyebut fenomena ini sebagai relative deprivation : kemarahan sosial lahir bukan semata karena miskin, tetapi karena rasa diperlakukan tidak adil.

Apakah rakyat salah jika marah? Tidak. Justru wajar.

Demonstrasi : Energi yang Mudah Membakar, Sulit Mengarah

Penulis sekaligus warga negara, saya melihat demonstrasi sebagai ekspresi politik paling cepat. Seperti katup kompor, ia melepaskan tekanan. Namun tanpa arah, energi sosial itu sering padam atau dimanfaatkan elite untuk agenda jangka pendek.

Sejarah mencatat, 1998 menjadi tonggak perubahan. Tetapi reformasi juga mengajarkan bahwa jatuhnya rezim tidak otomatis meningkatkan kesejahteraan rakyat. Demonstrasi hanyalah pintu awal; pekerjaan rumah yang lebih berat adalah membangun kebijakan yang berpihak.

Menghitung Harga Ketidakadilan

Mari berhitung. dengan 580 anggota DPR, tunjangan rumah Rp50 juta berarti negara mengeluarkan sekitar Rp29 miliar per bulan, atau Rp348 miliar per tahun.

Rp348 miliar setara dengan:
• Kuliah gratis untuk 50 ribu mahasiswa setahun.
• Beras bersubsidi untuk 1 juta keluarga miskin selama setahun.
• Dana riset energi terbarukan yang selama ini minim anggaran.

Penulis percaya data konkret seperti ini penting untuk memperkuat kritik. Tanpa data, kritik hanya dianggap luapan emosi. Dengan data, kritik menjadi evidence-based movement yang sulit dipatahkan.

Peran Anak Muda : Dari Jalan ke Jejaring

Anak muda Indonesia hari ini berada di persimpangan sejarah. Kita bisa memilih untuk terus turun ke jalan, atau mulai membangun jejaring—jejaring digital, sosial, dan komunitas.

Era digital membuka ruang baru untuk aktivisme cerdas (smart activism). Penulis percaya generasi muda bisa :
• Membuat platform transparansi tunjangan DPR.
• Menulis opini kritis di media online, sehingga narasi alternatif tidak kalah dari framing elite.
• Mengolah data menjadi infografis, video, atau podcast agar mudah dicerna publik.
• Membentuk komunitas literasi politik di kampus maupun ruang publik.

Gerakan berbasis data dan narasi akan jauh lebih tahan lama daripada kerumunan sesaat.

Cinta yang Kritis, Kritik yang Membangun

Cinta pada Indonesia bukan berarti diam. Justru kritik adalah wujud cinta. Tetapi cinta juga berarti menjaga agar negeri ini tidak hancur oleh amarah yang membabi buta.

Sebagai penulis, saya ingin menekankan : kita harus merawat dua hal sekaligus—kemarahan yang sehat dan akal yang jernih. Marah itu perlu agar kita tidak apatis. Tapi akal sehat memastikan agar kemarahan berubah menjadi arah, bukan bara.

Penutup

Tragedi Affan Kurniawan harus menjadi alarm, bukan sekadar headline. Ia mengingatkan kita bahwa di balik setiap kerusuhan ada manusia nyata yang kehilangan nyawa.

Penulis percaya bangsa ini tidak hanya butuh suara yang keras, tapi juga akal yang terang. Indonesia terlalu berharga untuk hanya dikenang sebagai negeri yang gaduh. Ia layak diingat sebagai negeri yang rakyatnya mampu mengubah kemarahan menjadi gerakan intelektual, kreatif, dan konstruktif.

Indonesia bukan hanya milik mereka yang duduk di parlemen. Indonesia adalah milik kita semua, terutama anak muda yang akan mewarisinya. Maka mari mencintai negeri ini dengan cara paling dewasa : tetap kritis, tetap marah, tapi juga tetap membangun.

Penulis : Miswadi Nirwan,S.kom
(Masyarakat biasa yang percaya suara kecil bisa membawa perubahan)

Laporan: Tim
Editor : Ardan