Kendari, Sultratimes.com, – Peringatan Sumpah Pemuda ke-97 dijadikan momentum refleksi tajam oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Sulawesi Tenggara terhadap arah kebijakan dan moralitas pemerintahan daerah.
Ketua PKC PMII Sultra, Awaludin Sisila, menilai bahwa semangat pemuda untuk memperjuangkan keadilan dan kemerdekaan rakyat justru berhadapan dengan praktik kekuasaan yang semakin menjauh dari nilai kemanusiaan.
Awaludin menyoroti rencana pembangunan Markas Komando (Grup 5) Kopassus di Kabupaten Konawe Selatan yang disebut-sebut akan menempati area sekitar 200 kini menjadi 500 bahkan 1000 Hektare di wilayah Lainea dan sekitarnya.
Menurutnya, proyek yang digadang sebagai agenda pertahanan nasional itu tidak boleh mengorbankan hak atas tanah dan penghidupan layak masyarakat setempat.
“Kami tidak menolak penguatan pertahanan negara, tetapi pembangunan Mako Kopassus di Konsel jangan sampai menjadi amputasi hak hidup warga. Banyak masyarakat yang telah menggarap dan bermukim di lahan tersebut jauh sebelum wacana proyek ini muncul,” ujar Awaludin Sisila dalam refleksi Sumpah Pemuda di Kendari, Senin (27/10/2025).
Ia menambahkan, pemerintah daerah seharusnya memastikan transparansi status lahan serta jaminan relokasi dan kompensasi yang adil bagi warga terdampak sebelum pembangunan dimulai.
“Negara tidak boleh hadir dengan wajah keras kepada rakyat kecil. Semangat Sumpah Pemuda justru menuntut keadilan sosial dan keberpihakan kepada yang lemah,” tegasnya.
Dalam refleksi yang sama, PMII Sultra juga menyoroti langkah Gubernur Sulawesi Tenggara Andi Sumangerukka (ASR) yang baru-baru ini melantik sejumlah pejabat eselon, termasuk mantan narapidana kasus korupsi, untuk menempati jabatan strategis di lingkungan Pemprov Sultra.
Menurut Awaluddin, tindakan itu melukai semangat reformasi birokrasi dan bertentangan dengan nilai moral yang digaungkan dalam upacara-upacara kenegaraan.
“Bagaimana mungkin seorang mantan napi korupsi kembali diberi amanah memimpin birokrasi? Ini bukan sekadar persoalan administrasi, tetapi soal nurani publik. Pemerintah seolah menormalisasi dosa struktural yang seharusnya menjadi pelajaran bagi generasi muda,” katanya.
Awaluddin menilai, jika praktik seperti ini dibiarkan, maka Sumpah Pemuda akan kehilangan makna.
“Kita berbicara tentang persatuan dan kemajuan bangsa, tapi di sisi lain integritas pejabat publik justru dilegalkan untuk jatuh lebih rendah,” tambahnya.
Menutup refleksinya, PMII Sultra menyerukan agar seluruh elemen pemuda dan mahasiswa kembali menegakkan moralitas perjuangan, bukan sekadar mengulang seremoni sejarah.
“Sumpah Pemuda bukan teks upacara, tapi semangat perlawanan terhadap ketidakadilan dan kemunafikan kekuasaan. Kami menyerukan agar pemuda Sultra berdiri di barisan rakyat, bukan di balik meja pejabat,” tandas Awaludin.
Laporan : Tim
Editor : Ardan












