Jakarta, Sultratimes.com,- Jaringan Pemerhati Investasi Pertambangan (J-PIP) menyoroti kinerja Aparat Penegak Hukum (APH) wilayah Sulawesi Tenggara (Sultra) terkait lemahnya penegakkan supremasi hukum dalam berbagai kasus pertambangan di Prov. Sultra.
Hal tersebut diungkapkan oleh Presidium Jaringan Pemerhati Investasi Pertambangan (J-PIP), Habrianto. Dalam Release presnya, Jumat (22/07/2022).
Menurut Habrianto, maraknya praktek illegal mining serta sindikat jual beli dokumen di Sultra, akibat lemahnya efektifitas penegakkan hukum APH wilayah Sultra dalam melakukan upaya upaya pencegahan serta penindakan terhadap para penambang illegal.
“Efek lemahnya penegakan hukum dari APH menimbulkan banyak persoalan hukum serta kerusakan hutan, pencemaran lingkungan, penyerobotan lahan, serta kerugian negara yang sangat besar” ucapnya.
Tambahnya, sejatinya ada dua hal penting yang harus diperhatikan oleh APH, yaitu faktor hukumnya dan faktor penegak hukumnya. Dimana, selain faktor hukumnya harus baik, aparat penegak hukum juga harus mampu bertindak secara profesional dan proporsional dalam memberikan sanksi bagi pelaku.
Lebih lanjut Habri menjelaskan, bahwa praktek illegal mining serta sindikat jual beli dokumen tersebut seringkali disoroti bahkan dilaporkan oleh berbagai elemen masyarakat serta para pemerhati lingkungan, namun ironisnya tidak ada upaya kongkrit dari APH wilayah Sultra dalam melakukan upaya penindakan.
“Sangat disayangkan APH wilayah Sultra tidak berdaya dihadapkan para penambang illegal, sementara praktek illegal mining tersebut hampir tiap hari disuarakan dan dilaporkan. Namun ironisnya tidak ada tindakan tegas dari APH, sehingga kami menduga adanya kongkalikong serta konspirasi antara APH dan para mafia tambang tersebut” ungkapnya.
“Selain itu, Konon praktek illegal mining serta sindikat jual beli dokumen ini diduga hanya bermodalkan koordinasi untuk melakukan kegiatan pertambangan agar tidak tersentuh hukum. Sehingga, seringkali masyarakat bertanya tanya apa yang dimaksud dengan kata “koordinasi” Itu, ?. ” tanya Habri.
Habri juga membeberkan, bahwa sindikat jual beli dokumen tersebut telah berlangsung lama dan sangat masif. Pihaknya juga menilai serta menduga didalam melakukan penjualan para penambang illegal tersebut difasilitasi oleh pemilik dokumen agar bisa melakukan penjualan Ore Nickel, dengan cara membayar royalti terhadap pemilik dokumen.
“Para penambang illegal tersebut tidak memiliki izin sama sekali dalam melakukan kegiatan seperti, izin eksplorasi maupun izin untuk melakukan penjualan, jadi besar dugaan kami bahwa mereka difasilitasi oleh para pemilik dokumen untuk menjual hasil tambang illegal mereka, dengan catatan harus membayar royalti pertongkang kepada pemilik dokumen” jelasnya.
Sehingga kata Habri, Kapolri dan Kajagung RI harus melakukan rotasi/penyegaran ditubuh Polda dan Kejati Sultra, karena pihaknya menilai kedua institusi tersebut telah gagal dalam melakukan pengawasan, pencegahan, penertiban serta penindakan terhadap praktek illegal mining dan jual beli dokumen di wilayah hukum mereka.
“Demi tercapainya moto Polri dan Kejagung RI, maka harus ada rotasi/penyegaran, sebab kedua kepala institusi tersebut kami nilai telah gagal dalam menjalankan tugas dan fungsinya” pintahnya.
Sehingga, J-PIP;
1. Meminta Kapolri dan Kejagung RI, Agar segera mengidentifikasi kata “koordinasi” yang sering diutarakan oleh para penambang illegal.
2. Meminta Kapolri, Agar segera mencopot Kapolda Sultra, karena dinilai telah gagal dalam memberantas para mafia mafia tambang.
2. Meminta Kejagung RI, Untuk segera mencopot Kajati Sultra, yang dinilai gagal dalam melakukan pengawasan terhadap kasus pertambangan.
Red.