Jakarta,sultratimes.com – Aliansi Masyarakat Peduli Hukum (Ampuh) Sulawesi Tenggara (Sultra) telah resmi melaporkan kasus dugaan pengrusakan hutan oleh PT. Konawe Nikel Nusantara (KNN) di wilayah Kec. Langgikima, Kab. Konawe Utara.
Itu dibuktikan dengan adanya Surat Tanda Terima pengaduan dari Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri atas pengaduan yang di sampaikan oleh lembaga Ampuh Sultra dengan nomor 23/B/AMPUH/VIII/2021.

“Ini sesuai janji kami di 2 minggu lalu, jika tidak ada tanggapan di daerah (sultra) maka kami akan langsung ke pusat dan hari ini kami tunaikan”. Kata Direktur Ampuh Sultra, Hendro Nilopo pada, Senin 30 Agustus 2021.
Surat perihal Aduan Masyarakat (Dumas) terkait dugaan pengrusakan hutan oleh PT. Konawe Nikel Nusantara (KNN) yang diajukan oleh Ampuh Sultra juga di tembuskan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI dan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) RI.
“Pengaduan kami di Bareskrim Mabes Polri, tapi aduan itu juga kami beri tembusan ke Kementerian LHK RI dan Kementerian ESDM RI selaku pihak-pihak terkait”. Pungkasnya
Ditanya mengenai materi pengaduannya, Hendro mengatakan, bahwa pihaknya fokus pada dugaan kegiatan pertambangan PT. Konawe Nikel Nusantara (KNN) di dalam kawasan hutan tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang dimana hal tersebut menurut dia, melanggar ketentuan perundang-undangan dan memiliki konsekuensi pidana yang harus di pertanggung jawabkan.
“Materinya fokus pada pengrusakan hutan atau melakukan kegiatan di dalam kawasan hutan tanpa izin, kemudian undang-undang yang di langgar sesuai bukti-bukti yang ada, lalu dampak yang ditimbulkan terhadap masyarakat, daerah maupun negara dan terakhir adalah mengenai konsekuensi pidananya”. Terang Aktivis asal Kobawe Utara itu saat melalui rilis yang diterima media ini pada, Senin (30/8/2021).
Sebelumnya Aliansi Masyarakat Peduli Hukum (Ampuh) Sulawesi Tenggara (Sultra) menduga PT. Konawe Nikel Nusantara (KNN) telah melakukan kegiatan penambangan di area yang berstatus kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) tanpa mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Kementerian Kehutanan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
“Jadi didalam wilayah IUP nya itu terdapat area yang berstatus kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang dimana menurut aturan, jika ingin melakukan kegiatan di area tersebut, maka harus terlebih dulu mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasab Hutan (IPPKH). Namun PT. KNN seolah tidak mengindahkan itu”. Ucap Hendro pada, Senin (16/8/2021).
Berdasarkan itu, Hendro menilai, kegiatan penambangan yang diduga dilakukan oleh PT. Konawe Nikel Nusantara (KNN) di dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) telah melanggar UU No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).
“Bisa dilihat dalam pasal 17 ayat 1 huruf a sampai dengan huruf e, mengenai larangan setiap orang maupun perusahaan untuk melakukan kegiatan di dalam kawasan hutan tanpa izin dari Menteri dalam hal ini, Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Kementerian LHK RI”. Pungkasnya
Lebih lanjut, Hendro menyebutkan, barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana disebutkan dalam pasal 17 ayat 1 huruf (a) sampai dengan huruf (e) akan dikenakan pidana penjara dan denda sebagaimana disebutkan dalam pasal 89 undang-undang mengenai ketentuan pidana.
“Jadi jelasnya begini, dalam pasal 17 itu di sebutkan larangan yang tidak boleh dilakukan oleh setiap orang atau perusahaan (korporasi). Sedangkan dalam pasal 89 adalah konsekuensi bagi yang melanggar ketentuan dalam pasal 17 tadi salah satunya adalah melakukan kegiatan di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri”. Terangnya
Aktivis asal Konawe Utara itu menerangkan, bahwa dalam pasal 89 ayat (1) UU No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberabtasan Perusakan Hutan (P3H) mengatur tentang pidana penjara dan pidana denda bagi pelaku perseorangan sedangkan dalam pasal 89 ayat (2) undang-undang yang sama mengatur tentang pidana penjara dan pidana denda bagi pelaku korporasi.
“Pada intinya baik pelaku perseorangan maupun pelaku korporasi, sama-sama terjerat pidana. Namun yang membedakan hanya soal lama pidana dan banyaknya denda bagi tiap pelaku”
“Untuk pelaku perseorangan pidana penjaranya paling lama 15 (Lima Belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (Sepuluh Miliar Rupiah) sedangkan untuk pelaku korporasi lebih besar yakni pidana penjara paling lama 20 (Dua Puluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.50.000.000.000,00 (Lima Puluh Miliar Rupiah)”tutup Hendro.